Kamis, 06 Juni 2013

Peraih Nilai 10 UN di Sumba Tak Lanjutkan Sekolah

Ternyata tidak selamanya kelimpahan ekonomi dan mudahnya akses informasi, sarana prasarana, bisa melahirkan anak –anak yang cerdas. Justru dari keadaan serba minim, bisa pula menciptakan figur berprestasi dan penuh daya juang. 

Adalah Marlin Hana Rahik (17) seorang siswi SMP, warga Dusun Matawai Pataku, Desa Katiku Wai, Kecamatan Matawai Lapawu, Kabupaten Sumba Timur, justru menjadi satu –satunya peraih nilai sempurna di mata pelajaran Matematika. Pelajaran yang seakan selalu jadi momok bagi peserta UN di NTT.

Marlin, demikian biasa disapa, merupakan anak ke-5 dari 9 bersaudara pasangan petani miskin, Musa Punda Mandang (53) dan almarhumah Maria Lika Nggoji.

Kini Marlin, sedang bermuram durja. Pasanya, walau meraih nilai sempurna (10) untuk Matematika UN SMP, ternyata tidak serta merta menjamin Marlin untuk bisa melanjutkan sekolah ke SMA sederajat. Kendala biaya untuk tumpangan, biaya makan dan minum serta biaya pendukung lainnya bagi Marlin jika hendak melanjutkan sekolah ke Kota, menjadi batu sandungan yang besar untuk disingkirkan.

Selama menempuh pendidikan dari tingkat SD hingga tamat SMP saja, setiap hari, pagi dan sore, Marlin harus senantiasa membantu orang tuanya. Seperti mengurus adik –adiknya dan mengambil air di lembah curam yang berjarak hampir satu kilometer dari rumahnya. 

Untuk belajar, Marlin memanfaatkan sedikit waktu luang baik siang maupun malam hari, walau hanya diterangi lampu pelita yang bernyala redup.

Saat ditemui di kediamannya, Rabu (5/6), Marlin ditemani ayah dan adik – adiknya nampak ceria. Namun ketika ditanyakan tentang rencana Marlin ke depan pasca lulus UN SMP, tangis Marlin dan Ayahnya tak terbendung.

“Saya sebenarnya mau sekolah lanjut. Tapi orang tua saya tidak mampu, saya mau bagaimana lagi. Kalau bisa, sebenarnya saya punya cita – cita menjadi guru,” jelasnya dengan terisak – isak dan suara terbata – bata.

Dengan air mata yang menggantung di pelupuk matanya, Musa juga mengutarakan isi hatinya dnegan bahasa daerah setempat. Yang garis bersarnya menyatakan kemiskinan dan ketidakmampuan ekonominya. 

“Saya bangga dia dapat nilai sempurna dan lulus UN, tapi saya juga sedih karena saya tak punya uang untuk bayar sekolah dan biaaya hidupnya sekolah di Kota Waingapu(kota Kabupaten, -red). Tapi saya tetap ikhlas lepas anak saya sekolah jika ada orang yang mau membantu biaya sekolah  dan hidupnya,” urai Musa sembari mengusap matanya yang berair. 

Tempat tinggal dan sekolah Marlin memang di pedalaman, akses informasi dan transportasi terus menjadi kendala. Namun demikian, Marlin justru bisa membanggakan sekolah, orang tua dan warga desanya. Semoga nantinya ada pihak yang terketuk hati untuk berbagi sukacita dan mewujudkan harapan Marlin dan keluarganya. 

Namun paling tidak, dari Marlin, semua pihak bisa belajar untuk miliki sikap pantang menyerah, walau keterbatasan dan kemiskinan akrab menemani.

Sumber: sindonews.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar